Pendiri Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba Center, Syamsul Arifin Nababan mengatakan, kurikulum pembinaan mualaf sebaiknya fokus pada dua hal.
Pertama, fokus pada penghapusan sisa-sisa kepercayaan selanjutnya. Kedua, fokus pada upaya menciptakan mualaf mandiri melalui pembekalan dasar-dasar keislaman.
“Pembelajaran dasar-dasar keislaman yang merujuk pada Alquran dan hadist akan memberikan modal dasar yang kuat bagi mualaf,” kata dia saat dihubungi republika.co.id, via sambungan telepon, Senin (20/6).
Dijelaskan Nababan, modal dasar itu yang nantinya akan berperan sebagai petunjuk bagi para mualaf saat menjalani identitas barunya. Modal itu bahkan dirasa cukup untuk membentengi mualaf dari ajaran-ajaran radikal dan terorisme.
Sebagai ilustrasi, kata dia, soal jihad. Ketika dasar-dasar keislaman diperkuat, pemahaman mualaf tidak akan melihat makna jihad menjadi sesuatu yang umum atau bersifat perang fisik. Tetapi lebih menekankan aspek khital atau kontekstual sehingga yang bersangkutan akan terhindar dari kesalahpahaman. “Jadi, orientasi pembinaan benar-benar hasil manifestasi konsep Islam sebagai agama rahmatan lil alamin,” kata dia.
Berbicara soal lamanya waktu yang dibutuhkan mualaf, Nababan mengatakan, belajar tentang Islam harus dilakukan secara terus menerus. Jadi, lamanya waktu sangat relatif. Yang penting, mualaf bisa menguasai betul dasar-dasar Islam.
Menurut dia, jangan samakan kurikulum pembinaan mualaf dengan kurikulum sekolah atau kuliah. Sebab konteksnya sudah berbeda. Demikian pula dengan orientasinya. Kurikulum ini akan menghasilkan Muslim yang tahu akan identitasnya, rajin beribadah dan beramal, atau mungkin bisa menjadi juru dakwah di kemudian hari. “Belajar Islam kan unlimited,” kata dia.
Sekretaris Paguyuban Mualaf Masjid Agung Sunda Kelapa, Fianne Alisja Braja mengharapkan kurikulum yang nantinya ditetapkan agar tidak lagi memandang sebelah mata para mualaf. Menurutnya, umat Islam harus satu hati dalam membentuk kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan para mualaf. “Kami tentu mengharapkan ada pembinaan terintegrasi,” kata dia.
Hal terpenting lain, diungkap Fianne, kurikulum juga sewajarnya menciptakan rasa cinta mualaf kepada Islam. Dengan rasa cinta itu, secara otomatis akan menarik mualaf untuk mendalami ajaran Islam. “Islam itu kan memudahkan. Bukan mempersulit umatnya,” kata dia.
Yang pasti, Fianne melanjutkan, kurikulum harus memuat materi yang diberikan secara bertahap. Dengan diawali pembentukan identitas keislaman. “Jangan diajarin ngaji dulu, ya kami tentu kesulitan. Tapi ajari kami soal siapa seorang Muslim itu,” ujarnya.
Berbicara soal lamanya waktu, Fianne mengatakan lama waktu tidak penting. Yang utama adalah perkembangan mualaf itu sendiri. Soal wajib atau tidak, Fianne mengatakan, sifat kurikulum itu haruslah menjawab kebutuhan. “Kita bukan anak sekolah. Jadi, harus fleksibel hingga bisa dengan mudah memahami dan mengamalkan,” pungkas dia. [republika]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar