Ada sebuah hikayat yang hendak aku terakan, tentang Bi Maryam istrinya Mang Isa. Perempuan yang telah melewati usia kepala empat, tetapi masih saja rajin beranak. Baiklah, untuk menuntaskan keingintahuan yang telah bersarang, kita buka saja cerita ini.
Oya, sebelumnya kita buat kesepakatan: Untuk memudahkan aku bercerita, kita singkat saja nama Bi Maryam menjadi Bi Mar, tersebab lidahku agak sulit menyebut namanya bila kuucapkan secara panjang. Jadi ketika aku menyebutkan nama Bi Mar, kau pahamlah kalau yang kumaksud adalah Bi Maryam istrinya Mang Isa, lantaran sangat banyak Bi Mar di dusun Tanah Abang.Kita mulai cerita ini di suatu malam ingusan, ketika bulan tengah mati di kelam raya dan kesiuran angin penanda hujan telah bertiup sejak langit mulai temaram, tepatnya di bilik pengap Bi Mar dan Mang Isa, pada sebuah limas yang terpancang tak jauh dari bibir Sungai Lematang. Dan kisah ini dibuka oleh ucapan Kajut Mis, dukun beranak di dusunku, Tanah Abang.
”Masih belum terlihat, Mar. Kau harus bertahan. Ambil napas lagi, lalu kau ejankan kuat-kuat.”
Bi Mar tersengal, kedua tangannya mencengkeram kuat seruas bambu yang tergantung tepat di atasnya. Seruas bambu yang diikat kuat tali trap—tali yang terbuat dari kulit kayu bernama trap. Keringat telah membanjir di pelipisnya, melucumkan seluruh tubuh dan merembes ke kasur kapuk yang menampung tubuh kepayahannya. Ada rasa sakit yang mengili-ngili tubuhnya, merayap dari sendi-sendi, lalu menjalar ke seluruh pori. Sakit yang bermuara dari satu titik: perut bengkaknya.
Mertua Bi Mar, emaknya Mang Isa, terlihat cemas di sebelahnya. Padahal, ini bukan kali pertama ia mengawani menantunya ini bertaruh nyawa, melahirkan cucu-cucunya, hampir saban dua tahun sekali, ia mengulangi adegan yang selalu membuat jantungnya berdebar lebih kencang ini. Bahkan, ia pun telah berkali-kali melakoninya. Tetap saja, kernyit muka penuh nyeri Bi Mar tak urung membuat dadanya mengempis.
”Sudahlah, Mar, tak usah beranak lagi. Kau datangi saja bidan di puskes sana, minta KB,” itulah ucapan mertua Bi Mar dua tahun silam, ketika usai mengawaninya melahirkan Serina, anak gadisnya yang baru saja dapat berlari dengan sempurna. Kata-kata serupa tak terluncur dari mulut mertua Bi Mar saja, Kajut Mis, dukun beranak yang kian uzur itu, pun telah mengucapkannya empat tahun lalu, pun dengan mulut-mulut karib-karib Bi Mar—tapi tidak dengan mulut orang-orang di Tanah Abang.
”Tak kau tengok, Mar, anakmu sudah macam rayap? Menyempal-nyempal sampai limasmu sesak. Apa lagi yang nak kau ranakan? Gadis-gadismu sudah banyak. Empat belas orang. Apa kau buta hingga tak dapat menghitungnya?”
Sejatinya, Bi Mar tak buta. Mata beloknya yang indah itu dapat dengan sempurna menghitung jumlah anak perawannya. Pun jika hendak menuruti kemauan hatinya, ia sangat ingin untuk menyudahinya. Tetapi, ucapan lakinya, Mang Isa, selalu saja membuatnya tak berdaya, ujung-ujungnya kembali mengharuskan Bi Mar bertaruh nyawa, melahirkan anak-anaknya.
”Kita harus dapat anak bujang, Dik,” itulah kata-kata Mang Isa pada Bi Mar, ”Apa kata orang se-Tanah Abang bila jurai limas kita tak tertegak lantaran kita hanya melahirkan anak-anak perawan saja? Pada masanya, bila kita telah uzur dan anak-anak gadis kita telah diboyong laki mereka ke limas seorang-seorang, kita hanya tinggal berdua di limas ini, tak ada yang mengurusi. Lalu, kita akan mati bergilir dalam sepi. Nasib baik, jika kita mati bersama, hingga yang ditinggal tak merasa sunyi.”
Ucapan Mang Isa membuat mata Bi Mar menerawang, membayangkan dirinya ringkih dan tertatih-tatih sendiri dalam limas. Menanak nasi, mandi ke Sungai Lematang, mengumpulkan kayu bakar, merumputi lapangan sekitar limas, menyambangi kebun duku-durian, menyayatkan pahat pada kulit balam di pagi kelam. Mendadak, tengkuk Bi Mar meriap. Alangkah menakutkan bayang itu di matanya.
”Kalau kita ada anak bujang. Ada yang menunggu limas, memboyong istri dan anaknya di sini, bersama kita. Mengurus kebun duku-durian, menyadap balam pagi-pagi kelam. Kita hanya tinggal di rumah saja, bermain dengan cucu-cucu yang banyak. Tak usah risau bila ada yang sakit karena tua, tak perlu cemas kalau-kalau kita mati tak ada yang tahu musababnya. Sebab, ada yang bersama kita. Anak bujang dengan anak dan istrinya,” tambah Mang Isa membuat mata Bi Mar mengatup rapat. Alangkah indah.
Sekelebat pula sebuah bayangan mengantar-kantar mata Bi Mar yang terpejam. Sebuah bayangan yang mendadak menciutkan kembali nyalinya. Bi Mar teringat akan nasib buruk Mak Salit. Perempuan tua itu kini hidup sendiri di limasnya yang megah setelah lakinya meninggal beberapa purnama silam. Nasib malangnya bukan lantaran karena Mak Salit seorang perempuan mandul yang tak punya anak. Anaknya banyak, hampir mencapai sepuluh orang. Sayangnya, semua perawan dan telah mengikuti laki-lakinya di dusun-dusun tetangga.
Mungkin, bukan tak ada anak-anak perempuan Mak Salit yang tak iba melihat nasib malang Emak mereka. Dapat pula sebenarnya mereka takut akan mendapatkan nasib serupa di masa tua lantaran telah menelantarkan Emak mereka. Tapi, apa yang dapat mereka perbuat sebagai perempuan selain tunduk kepada suami dan adat yang mengikat? Tak akan mertua mereka mengizinkan, bila anak bujangnya menunggui limas mertua, mengikuti istri melangkah, menegakkan jurai perempuan sembari membunuh jurai keluarga seorang lanang.
Itulah mengapa Bi Mar seolah-olah menulikan telinga dari ucapan mertuanya, ucapan Kajut Mis, dan karib-karib sebayanya. Ia harus dapat anak bujang, tak peduli dengan ucapan segelintir orang. Orang-orang Tanah Abang pun paham apa yang hendak ia capai dengan lakinya.
***
”Mungkin kau kurang syarat, Mar, jadinya selalu meranakkan perawan,” ucapan itu Bi Mar dapat dari Kajut Muya ketika perempuan tua yang tak seorang pun memiliki anak perawan itu, sekali waktu menyambangi limas Bi Mar seusai Bi Mar melahirkan anaknya yang keempat belas, Serina.
”Syarat apa, Jut?” kejar Bi Mar dengan mata berbinar. Ada semangat yang meluap dari dadanya hingga Bi Mar seolah lupa dengan tubuhnya yang masih kepayahan sebab baru saja meranakkan anak gadisnya yang kesekian. Di mata Bi Mar terlintas deret-deret bujang Kajut Muya yang elok-elok parasnya.
”Kau malinglah sereket dari kayu ribu-ribu milik bibi atau saudara perempuan lakimu yang telah beranak bujang. Usai itu, kau pakai sekali saja saat menanak nasi. Nah, nasi-nasi yang menempel di sereket itu kau makan, lalu simpan sereketnya di bawah kasur kapuk kau dengan Isa. Insya Allah, kau akan dapat anak bujang. Aku pun dulu demikian, Mar. Awal-awal menikah hingga anakku bujang semua.”
Bibir Bi Mar mengembang, serupa kuntum bunga yang menemukan masanya mekar. Ada luap keinginan yang rasanya hendak lekas-lekas ia tunaikan. Bila tak sadar dirinya masih terkulai di atas lamat kapuknya, mungkin Bi Mar telah gegas meninggalkan Kajut Muya seorang saja bersama gadisnya yang masih merah. Di matanya yang mendadak berbinar, Bi Mar telah dapat limas siapa yang akan ia satroni, menggondol sereket kayu ribu-ribu penanak nasi: Limas Bi Jumar, adik mertuanya yang memiliki banyak bujang.
Begitulah, seusai merasa dirinya telah sehat walafiat, Bi Mar melancarkan aksinya. Pada petang yang kesekian di bilangan almanak rumah, Bi Mar berpura bertandang sembari memamerkan anak gadisnya yang merah. Ketika Bi Jumar lengah, Bi Mar mengambil sereket kayu ribu-ribu yang terselip di dinding limas samping periuk yang bergemerutup. Entah, apa Bi Jumar sebenarnya paham apa yang dilakukan Bi Mar atau ia benar-benar tak mengetahuinya. Bi Mar melenggang pulang dengan sereket kayu ribu-ribu yang terselip di balik besannya.
Di rumah, Bi Mar gegas menanak nasi seperti biasa, meletakkan perawannya yang masih merah dalam ayunan. Lalu, melakukan petuah Kajut Muya padanya. Menggunakan sereket kayu ribu-ribu milik Bi Jumar untuk mengaron nasinya hingga matang. Dan, memamah nasi yang tertinggal di sereket. Usai itu, Bi Mar menyelipkan sereket itu di bawah kasur, tempat ia dan Mang Isa tidur.
***
Keinginan Bi Mar memiliki anak bujang kian menjadi saja. Sebab, ada berita yang tengah hangat dibicarakan perempuan-perempuan di batang—tempat mencuci dan mandi di Sungai Lematang. Berita tentang Mang Marwan yang berbini dua!
Kata berita yang lagi hangat-hangatnya itu, Mang Marwan berbini dua lantaran tak kunjung mendapatkan anak bujang dari istrinya, Bi Murni. Bi Mar pun ingat, ada lima anak gadis Bi Murni itu. Semua berparas elok, berbibir tipis dengan hidung bangir, kulit putih dan mata sipit, mirip Mang Marwan yang memang termasuk lelaki rupawan.
Mendadak, degup di jantung Bi Mar terasa tak normal. Ada dag-dig-dug yang tak biasa. Ia seperti merasa, mata-mata perempuan yang mencuci dan mandi di batang seolah-olah mencuri pandang. Seperti perempuan-perempuan itu tengah meramalkan nasibnya pun akan seburuk Bi Murni yang tengah dikisahkan. Dimadu oleh lakinya lantaran tak kunjung mengoekkan anak bujang dari selakangannya. Tak kunjung menegakkan jurai limas dengan menetak burung bujang ingusan.
Gegas sekali Bi Mar menyikat baju cuciannya, membilas, dan menyabuni tubuhnya. Lalu, membasuh diri dengan air Lematang yang mengalir. Setelah itu, ia terburu melangkah pulang. Dalam hatinya yang kusut-masai, ia percaya, mata-mata perempuan di batang masih saja tertuju hingga tubuhnya lenyap dari pandangan.
Bi Mar pun mulai waswas melihat tingkah pola Mang Isa. Bila lelaki itu tak kunjung pulang pada malam yang kian larut saja, hatinya mendadak dibalur cemburu. Jangan-jangan Mang Isa tengah memadu kasih dengan janda di dusun ini dan itu. Mengurai rencana dan sudah mulai menyusun kata, bila ia menangis sembab ketika mendapati Mang Isa dikabarkan telah berbini dua kelak.
Bi Mar pun kian risau, bila ia mendapati dirinya masih saja datang bulan. Padahal, ia sangat berharap ada sesuatu yang tumbuh di perutnya, buah dari cinta dengan Mang Isa. Sesuatu yang ia harapkan membayar tunai kegalauannya.
Rupa-rupanya, Tuhan mendengar doa Bi Mar, atau ini hanyalah kebetulan semata. Pastinya, hal ini memang sudah tersemat dalam kisah semesta. Bi Mar kembali hamil muda. Lalu, pelan-pelan perutnya membengkak, menuju bilangan bulan demi bulannya, seiring anak gadis yang keempat belas belajar berjalan. Segala syarat yang ia dapatkan dari tetua, orang-orang yang telah kenyang asam garam dunia, ia lakonkan, tujuannya cuma satu saja: Kali ini ia beranak seorang bujang. Menyudahi pertarungan yang sejatinya enggan ia ulang.
***
Angin kian mendedas di pelipir limas, meningkahi perjuangan Bi Mar dalam bilik pengap. Sesekali terdengar rintik mengimbau di atas genting. Kajut Mis masih terus memberi aba-aba, menyemangati Bi Mar yang kian kepayahan. Usia yang sudah lewat kepala empat, anak yang kata Kajut Mis sungsang, membuat perjuangan Bi Mar kian berat. Sementara itu, di tengah limas, Mang Isa menunggu dengan cemas, anak-anak perawannya meringkuk dalam senyap. Doanya cuma sebatang kalimat: Anak bujang! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar