Senin, 25 April 2011

Gerhana Matahari (2)


Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana
Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammelewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)
Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10)
Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)
Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)
Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria.
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,
أَتَيْتُ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)
Bukhari membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ
”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى
”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)
Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)
Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana.
Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)

Gerhana Matahari (1)


Ada berita menarik yang kami peroleh dari beberapa situs. Berita tersebut adalah:
Akhirnya, setelah sekian lama, gerhana matahari akan segera menyapa Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, 3 gerhana matahari secara berturut-turut akan melewati Indonesia dalam rentang waktu 2009 - 2010. Sayangnya, tidak semua bagian di wilayah Indonesia dapat melihat fenomena ini. Karena, ketiga gerhana ini cuman melewati bagian barat dan/atau utara indonesia.

Tahun 2009 tercatat ada dua gerhana yang akan melewati Indonesia, yaitu pada tanggal 26 Januari dan 21-22 Juli, sementara itu, gerhana matahari akan kembali menyenggol kita pada tanggal 15 Januari 2010.
Fenomena ini sangat disayangkan untuk dilewatkan, karena gerhana matahari baru akan menyapa kita kembali pada tahun 2016.
Gerhana tanggal 26 Januari dapat dilihat oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia (Dari Banda Aceh sampai Ambon), beruntunglah mereka yang tinggal di daerah Lampung, Samarinda, dan Teluk betung, karena bulan menutup hampir seluruh bagian matahari. Gerhana ini terjadi pada waktu sore hari sekitaran pukul 3 - 4.
Yang perlu diperhatikan dari jenis gerhana ini adalah jenis gerhana ini adalah gerhana matahari anular (bukan total) artinya ukuran bulan tidak cukup besar untuk menutupi seluruh priringan matahari berbeda dengan gerhana matahari total dimana bulan menutupi seluruh piringan matahari. Jadi, untuk melihatnya, perlu digunakan lensa pelindung mata, serta bagi fotografer, ingat untuk melindungi lensa kameranya sebelum mengabadikan fenomena langka ini. (sumber: http://www.indoforum.org)
Bagaimana Islam menghadapi moment semacam ini? Tentu saja, bukan hanya melewatkannya dengan berfoto-foto ria. Islam punya tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Simak pembahasan berikut ini.
Keyakinan Keliru
Banyak masyarakat awam yang tidak paham bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak di antara mereka yang mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah yang benar. Di antaranya, ada yang meyakini bahwa di saat terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa.
Ada juga masyarakat yang meyakini bahwa bulan dan matahari adalah sepasang kekasih, sehingga apabila mereka berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga timbullah gerhana sebagai bentuk percintaan mereka.
Sebagian masyarakat seringkali mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membantah keyakinan orang Arab tadi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Memang pada saat terjadinya gerhana matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim. Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, beliau berkata,
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »
”Di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa munculnya gerhana ini karena kematian Ibrahim. Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Bukhari no. 1043)
Ibrahim adalah anak dari budak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah. Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki anak kecuali dari Khadijah dan budak ini. Tatkala Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air mata dan begitu sedih. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan ketika kematian anaknya ini,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا ، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
”Air mata ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami tidak mengatakan kecuali yang diridhoi Allah. Sungguh -wahai Ibrahim-karena kepergianmu ini, kami bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303) (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 2/305, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H)
Itulah keyakinan-keyakinan keliru yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim ketika terjadi fenomena semacam ini. Selanjutnya kami akan menjelaskan mengenai gerhana, shalat gerhana dan hal-hal yang mesti kita lakukan ketika itu. Kami tidak ingin berpanjang-panjang lebar mengenai hal ini. Kami cukup menyampaikan secara ringkas, sehingga pembaca bisa lebih mudah memahami.
Apa yang Dimaksud Dengan Gerhana Matahari?
Kalau dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang pernah kita pelajari dahulu, fenomena gerhana matahari adalah seperti pada gambar ini.
Posisi gerhana matahari adalah bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi. Jadi, bulan ketika itu menghalangi sinar matahari yang akan sampai ke bumi. Ini gambaran singkat mengenai gerhana matahari.
Menurut pakar bahasa Arab, mereka mengatakan bahwa kusuf adalah terhalangnya cahaya matahari atau berkurangnya cahaya matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari dan bumi. Inilah yang dimaksud gerhana matahari. Sedangkan khusuf adalah sebutan untuk gerhana bulan. (Al Mu’jamul Wasith, hal. 823)
Jadi ada dua istilah dalam pembahasan gerhana yaitu kusuf dan khusuf. Kusuf adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan.
Definisi yang tepat jika kita katakan: Kalau kusuf dan khusuf tidak disebut berbarengan maka kusuf dan khusuf bermakna satu yaitu gerhana matahari atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan khusuf disebut berbarengan, maka kusuf bermakna gerhana matahari, sedangkan khusuf bermakna gerhana bulan. (Lihat Syarhul Mumthi’ ’ala Zadil Mustaqni’, 2/424, Dar Ibnul Haitsam)
Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin inilah yang akan ditemukan dalam beberapa hadits. Kadang dalam suatu hadits menggunakan kata khusuf, namun yang dimaksudkan adalah gerhana matahari atau gerhana bulan karena khusuf pada saat itu disebutkan tidak berbarengan dengan kusuf.
Wajib atau Sunnahkah Shalat Gerhana?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat ditekankan). Namun, menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib. Imam Malik sendiri menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita timbang-timbang, ternyata para ulama yang menilai wajib memiliki dalil yang kuat. Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Hukum Shalat Gerhana Bulan
Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah mu’akkad sebagaimana shalat gerhana matahari (ini bagi yang menganggap shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad, pen) dan dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh ’Atho’, Al Hasan, An Nakho’i dan Ishaq, bahkan pendapat ini diriwayatkan pula dari Ibnu ’Abbas.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti shalat sunnah biasa yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’ (lihat penjelasan mengeanai tata cara shalat gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini, shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Malik.
Manakah yang lebih kuat? Pendapat pertama dinilai lebih kuat, karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammemerintahkan untuk shalat ketika melihat kedua gerhana tersebut tanpa beliau bedakan (Lihat pembahasan ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/432-433, Al Maktabah At Taufiqiyah). Juga ada dalil yang mendukung pendapat pertama tadi. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047)
Kita kembali lagi pada pembahasan di atas. Kami nilai sendiri bahwa shalat gerhana adalah wajib sebagaimana yang juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’.
Kalau ada yang mengatakan bahwa shalat yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu saja. Maka para ulama yang menyatakan wajibnya shalat gerhana akan menyanggah, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut shalat lima waktu itu wajib karena shalat tersebut berulang di setiap waktu dan tempat (maksudnya: shalat lima waktu adalah shalat yang diwajibkan setiap saat dan bukan karena sebab, pen). Adapun shalat gerhana dan tahiyatul masjid (bagi yang menilai hukum shalat tahiyatul masjid adalah wajib) atau shalat semacam itu, maka shalat-shalat ini wajib karena ada sebab tertentu. Maka shalat-shalat ini bukan seperti shalat wajib mutlaq (maksudnya: berbeda dengan shalat lima waktu). Misalnya saja ada seseorang bernadzar akan menunaikan shalat dua raka’at. Shalat karena nadzar ini wajib dia kerjakan walaupun shalat tersebut bukan shalat lima waktu. Shalat ini wajib dikerjakan karena sebab dia bernadzar. Jadi, shalat yang wajib karena sebab tertentu tidak seperti shalat wajib muthlaq yang tanpa sebab.”
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Inilah pendapat yang kami nilai kuat. Namun sangat disayangkan orang-orang malah lebih senang melihat fenomena gerhana matahari atau gerhana bulan dan mereka tidak memperhatikan kewajiban yang satu ini. Semua hanya sibuk dengan dagangan, hanya berfoya-foya atau sibuk di ladang. Kami takutkan, mungkin saja gerhana ini adalah tanda diturunkannya adzab sebagaimana yang Allah takut-takuti melalui gerhana ini. Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat daripada yang menyatakan sekedar dianjurkan.” (Lihat penjelasan yang sangat menarik ini di Syarhul Mumthi’, 2/429)
Jadi bagi siapa saja yang melihat gerhana, maka dia wajib menunaikan shalat gerhana. Wallahu a’lam, wal ’ilmu ’indallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakannya.
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”
 (HR. Bukhari no. 1047). Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
-bersambung insya Allah-

Kami Tidak Tinggal Diam Wahai Palestina!!!


Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Alhamdulillaahi –l Khaaliqil kauni wa maa fiih, wa jaami’in naasi li yaumin laa raiba fiih. Asyahadu an laa ilaaha illallaah, wa anna Muhammadan rasuulullaah… wa ba’d…
Perhatian dunia dalam beberapa hari ini tertuju pada Jalur Gaza. Invasi tentara Yahudi ke Gaza menelan banyak korban terutama wanita dan anak-anak. Korban luka-luka semakin memperbanyak deretan korban meninggal dunia. Dunia pun merespon dengan berbagai macam aksi.

Di antara aksi sebagai bentuk kepedulian atas musibah yang menimpa kaum muslimin di Palestina itu adalah aksi berupa bantuan kemanusiaan. Yang paling menonjol dalam hal bantuan tersebut adalah Saudi Arabia, di bawah pimpinan Raja Abdullah bin Abdul Aziz –ayyadahullah-. Ini bukan klaim tanpa bukti. Sebagai contoh: Program “Donasi Untuk Palestina” digencarkan, walaupun sudah sejak lama dicanangkan. Rumah-rumah sakit ternama di pusat kerajaan Saudi difokuskan untuk menangani korban luka-luka akibat serangan kaum Yahudi tersebut. Bantuan berupa makanan, pakaian dan obat-obatan juga terus mengalir sampai tulisan ini diturunkan. Kalangan ulama pun tidak tinggal diam. Baik perseorangan maupun lembaga/organisasi. Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh dan Syeikh Abdurrahman As Sudais mengecam dengan keras aksi serangan tersebut dalam khutbah jum’at mereka. Mereka dan umumnya para khatib di Saudi tidak lupa mendo’akan kaum muslimin Palestina secara khusus. Lajnah Daa’imah juga mengeluarkan pernyataan dalam menyikapi tragedi di Jalur Gaza tersebut. Dan masih banyak lagi bentuk bantuan baik materi maupun moril/spirit.
Namun ada segelintir orang menutup mata dengan kenyataan ini dan berkomentar, “Saudi Arabia adalah negara yang takut dengan Amerika dan kurang memberikan bantuan yang konkrit kepada kaum muslimin di Palestina.” atau kalimat yang semisalnya.
Terhadap siapa saja yang berkomentar seperti di atas, saya katakan:
Apakah maksud Anda dengan kata ‘konkrit’ bahwa Anda menginginkan agar Pemerintah Saudi mengirimkan tentaranya ke Palestina untuk menghantam pasukan Israel? Baiklah jika memang demikian, apakah Amerika akan tinggal diam? Padahal Allah berfirman (yang artinya), “…dan janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian dalam kebinasaan…” (Qs. Al Baqarah: 195)
Taruhlah seperti apa yang Anda inginkan bahkan lebih dari itu -semua pemerintah negara muslim mengizinkan rakyatnya untuk berjihad ke palestina dan saya berhusnudzdzan Anda akan ikut serta di dalamnya-, maka Anda akan berjihad di bawah bendera siapa di Palestina? Di bawah bendera HAMAS kah? Atau berspandukkan AL FATH? Atau barangkali di bawah komando Jihad Islami Palestina (JIP)? Atau Anda memimpin laskar jihad yang Anda buat sendiri? Tahukah Anda bahwa jihad bukan hanya perkara mengucapkan dan meneriakkan, “…’Isy kariiman… aw Mut syahiidan…” (Hiduplah dalam kemuliaan atau matilah sebagai syahid)? Namun jihad membutuhkan seorang imam dan tandhim (taktik dan siasat perang). Dan yang lebih penting lagi, apakah Anda yakin bahwa masing-masing front/partai/hizb itu berperang untuk meninggikan kalimat Laa ilaaha illallaah? Qul Haatu burhaanakum in kuntum shaadiqiin.
Jika Anda mengatakan, “Kaum muslimin harus berada dalam satu barisan dalam menghadapi dan menyikapi Yahudi.”, maka saya tidak berbeda pendapat dengan Anda. Bahkan tidak ada dua orang muslim yang berselisih pendapat tentangnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Qs. Ash Shaff: 4)
Namun bagaimana Anda bisa mempersatukan barisan kaum muslimin untuk berjihad, sedangkan di tengah-tengah mereka masih banyak kaum muslimin yang menyembah kuburan, menghambakan diri kepada dukun (dengan mematuhi persyaratannya atau menjalankan lelaku walaupun bertentangan dengan syari’at), paranormal (dengan membenarkan berita gaib yang sampai kepadanya), dan tukang pelet? Bagaimana pula halnya kalau kaum muslimin yang terjun di medan jihad, banyak di antara mereka yang memakai jimat, atau membaca mantera-mantera yang telah dirajah oleh mbah-mbah dukun supaya kebal senjata api dan agar tidak terdeteksi oleh radar?! Bagaimana Anda akan mempersatukan kaum muslimin dalam rangka jihad, kalau segolongan di antara mereka tidak akan berangkat perang sebelum melakukan thawaf (mengelilingi) kuburan seseorang yang dianggap wali? Atau bagaimana pula jika segolongan yang lain tidak akan berperang kalau yang menjadi imam bukan dari golongannya? Atau bagaimana kaum muslimin akan bersatu padu dalam medan jihad, kalau mereka ketika dikumandangkan seruan azan “Mari mencapai kemenangan…” 2x bermalas-malasan mendatangi masjid (terutama waktu fajr/shubuh)?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pondasi segala sesuatu adalah Al Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, Hasan Shahih). Al Islam itu sendiri adalah istislam (berserah diri) kepada Allah dengan mentauhidkanNya, dan inqiyaad (patuh) dengan mentaatiNya, dan baraa’ah (berlepas diri) dari kesyirikan dan pelakunya. Berdasarkan hadits ini, kaum muslimin tidak akan berhasil menggapai puncak kejayaan, jikalau pondasi dan tiangnya keropos.
Jika Anda bersikap adil, mengapa Anda hanya menggugat Saudi Arabia? Bukankah negara yang berbatasan dengan Palestina adalah Mesir, Yordania, Libanon serta Syiria? Seharusnya negara-negara tersebut yang paling mudah untuk mengirim pasukan-pasukannya mengepung dan meremukkan artileri dan infanteri Yahudi. Namun pertanyaan politis yang harus Anda jawab terlebih dahulu adalah: Apakah negara-negara Arab yang disebutkan terakhir (sebagai misal saja) politik luar negerinya merupakan politik anti Amerika???
Dalam lingkup yang lebih sempit, idealnya negara-negara Arab seharusnya bersatu dalam menyikapi tragedi berdarah tersebut. Namun, kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Buktinya salah satu negara yang berbatasan dengan Jalur Gaza menilai Hamas lah yang menyebabkan tragedi berdarah di kota yang berhadapan dengan laut Mediterrania (Al Bahru -l Mutawassith) itu. Sedangkan Saudi Arabia dan beberapa negara arab lainnya menilai Israel telah melakukan sesuatu yang tidak berprikemanusiaan. Lihatlah! Sesama negara Arab berbeda pandangan dan sikap. Dan yang demikian itu bukanlah hal yang baru. Telah terjadi jauh sebelumnya pengkhianatan di kalangan negara Arab dalam menghadapi Israel pada tahun 1967 dalam perang yang dikenal sejarah sebagai Perang Enam Hari. Berbeda halnya dengan yang terjadi pada tahun 1973, di mana bangsa Arab bersatu padu di bawah komando Raja Faisal bin Abdul Aziz –rahimahullah- akhirnya berhasil memukul mundur dan mengusir Israel keluar dari Sainaa’.
Oleh karena itu bersikaplah adil dan bijaksana dalam menilai segala sesuatu. Jangan sembarangan menuduh tanpa bukti dan fakta. Mengapa kita disibukkan dengan menilai dan mensifati orang lain dan lalai menilai diri kita sendiri? Mengapa kita tidak berlomba-lomba melebihi Saudi Arabia dalam membantu korban kedzaliman Yahudi tersebut? Silahkan saja bandingkan antara Saudi Arabia dengan negara mana saja dalam hal donasi untuk Program Peduli Palestina.
Akhirnya, mari kita mendo’akan kaum muslimin yang muwahhid yang menjadi korban kedzaliman tentara Yahudi di Jalur Gaza khususnya, dan Palestina umumnya, agar mendapatkan syahadah fii sabiilillah dan semoga kita dikumpulkan bersama para Nabi, shiddiiqiin, para syuhada’ dan orang-orang shalih.
Washallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa aakhiru da’waanaa anil hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.

Virus yang Mewabah di Tengah Ummat


Sungguh aneh bin ajaib kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa pada saat ini dakwah yang menyerukan kepada tauhid dan mengingatkan pada syirik adalah sudah tidak relevan. Sebab di zaman yang modern seperti ini sudah banyak orang yang mempercayai adanya Tuhan dan sangat jarang ditemui ada orang yang menyembah patung, bintang, matahari, berhala dan sebagainya. Mereka juga mengatakan bahwa sekarang ini kita harus memfokuskan dan memperhatikan bagaimana kita harus melawan orang-orang kafir dan merebut kekuasaan.
Pandangan seperti ini muncul karena memang dangkalnya ilmu dan pemahaman yang ada pada orang tersebut, tidak faham apa itu pengertian tauhid dan syirik dengan benar, serta tidak faham dengan inti dakwah setiap rosul. Bukan berarti bahwa melawan orang kafir itu tidak penting. Tidak, sekali-kali tidak! Dengan tulisan ini semoga dapat mendudukkan masalah ini secara benar dan dapat menyadarkan kaum muslimin dari keterlenaannya.
Tauhid Bukan Sekedar Percaya Adanya Tuhan
Sebagian kaum muslimin yang beranggapan bahwa apabila seorang itu telah mengakui adanya Tuhan, maka dia sudah dikatakan bertauhid. Mereka lupa bahwa ini hanyalah bagian dari tauhid, bahkan hanya bagian kecil darinya. Dan belumlah seseorang itu dianggap bertauhid hanya dengan bagian yang ini saja. Sedangkan bagian tauhid yang lain bahkan yang paling pokok di antaranya justru tidak faham. Setiap orang wajib mengesakan Alloh dalam rububiyahuluhiyah dan asma wa shifat-Nya. Jika ketinggalan satu saja dari ketiga tauhid tersebut belumlah dia dikatakan sebagai seorang yang bertauhid.
Lihatlah kaum musyrik quroisy, bukankah mereka juga mengakui adanya Alloh, bahkan bukankah mereka juga menyembah Alloh? Kenapa mereka masih diperangi oleh Rosululloh? Alloh berfirman: “Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Alloh’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak betakwa (kepada-Nya)?” (Yunus: 31)
Syirik Bukan Sekedar Sujud Kepada Patung
Syirik adalah menyamakan selain Alloh dengan Alloh dalam perkara yang menjadi kekhususan atau hak bagi Alloh. Dari definisi ini, maka jelaslah bagi kita syirik itu tidak hanya sebatas menyembah dan sujud kepada berhala, patung, matahari dan lain-lain, namun lebih luas daripada ini.
Kita lihat juga kaum musyrik yang diperangi oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam dulu, apakah mereka murni benar-benar menyembah atau sujud kepada berhala dan yang lainnya hanya karena mereka batu dan pohon? Ternyata tidak, Alloh menceritakan ucapan mereka: “Tidaklah kami menyembah mereka melainkan agar mereka dapat mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3). Mereka menyembah berbagai sesembahan tersebut dengan harapan akan memerantarai pada Alloh.
Syirik juga tidak terhenti di sini, ada juga syirik dalam ketaatan. Tatkala Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalammembacakan ayat: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tandingan (tuhan) selain Alloh.” (At-Taubah: 31). Sahabat Adi bin Abi Hatim yang pada waktu itu baru masuk Islam menyanggah: “Tidaklah kami itu menyembah mereka”. Maka Rosululloh menjawab: “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Alloh lalu kalian pun ikut mengharamkan, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan oleh Alloh lalu kalian pun ikut menghalalkan?” Maka Adi bin Abi Hatim pun menjawab: “Benar”. Rosululloh berkata: “Itulah peribadahan kepada mereka”. Lalu sekarang, betapa banyak kaum muslimin yang mereka ikut menghalalkan yang semestinya harom dengan landasan hawa nafsu? Na’udzu billah.
Syirik tidak hanya terbatas pada amalan badan, namun juga amalan hati dan lisan. Alloh berfirman: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh.” (Al Baqoroh: 165)
Realita yang Ada di Masyarakat Sekarang Ini
Sungguh aneh masyarakat kita sekarang ini, mereka akan begitu sangat marah apabila ada orang non islam yang mempropagandakan agama mereka dan mengajak orang lain kepada agama mereka. Namun pada saat yang sama, dia telah membiarkan dirinya, anak-anaknya dan keluarganya untuk diseret dan dipengaruhi oleh kesyirikan dan dijauhkan dari aqidah yang lurus, yakni dengan membiarkan di rumahnya sebuah televisi yang tiap harinya selalu dijejali dengan acara-cara kesyirikan. Seolah-olah mereka mengatakan: “Mari silakan masuk, ajari dan pengaruhi keluarga kami dengan acara-acara syirik, bid’ah dan maksiat kalian”. Na’udzu billah!! Bukankah ini terjadi karena tidak fahamnya mereka terhadap apa itu syirik, ancaman dan bahayanya? Ataukah merasa juga telah merasa aman dan jauh akan terjatuh di dalamnya?
Anak-anak kita sudah terbiasa disuguhi dengan film tentang peri, hantu, dukun, sihir, jimat-jimat dan film misteri yang penuh kesyirikan. Sementara anak mudanya tenggelam dalam ramalan bintang/zodiak. Sadarlah wahai saudaraku! itu semua adalah termasuk amalan-amalan kesyirikan.
Dengan Dalih Budaya dan Adat Istiadat
Lebih ironi lagi, ternyata kita juga hidup disuatu masyarakat yang diantara adat istiadat dan budaya mereka merupakan amalan-amalan kesyirikan. Ketika kita mengingatkan mereka ternyata mereka malah balik menuduh bahwa kita adalah orang yang kaku dan tidak faham terhadap esensi dan transformasi nilai. Namun sayang ketika mereka berusaha untuk dijelaskan dan diajak untuk “sedikit” berpikir, hati mereka sudah diliputi oleh dua penyakit yaitu taqlid (ikut-ikutan) dan ta’ashshub (fanatik). Kalau begitu, bagaimana kebenaran ini akan sampai?
Alloh berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Alloh,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqoroh: 170)
Kita lihat di sana ada acara nyadran, sekaten, ngelarung, sedekah bumi/laut, suronan dan lain-lain, yang mana acara-acara itu di masyarakat kita sudah mendarah daging, bahkan sudah menjadi komoditi bisnis dan mata pencaharian. Sungguh ironi, mereka beralasan bahwa ini adalah budaya nenek moyang yang harus dilestarikan.Allohu akbar!! Inilah alasan yang menjadi jurus pamungkas kaum musyrikin zaman Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam tatkala mulut mereka tidak mampu lagi menjawab hujjah Alloh, Na’udzu billah.
Mengingat akan parahnya keadaan ini, maka sudah menjadi tugas kita semua untuk saling mengingatkan dan terus untuk mengingatkan. “Dan tetaplah beri peringatan, karena peringatan itu memberikan manfaat terhadap orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Ilmu Melahirkan Amalan

Keutamaan Ilmu

Imam Ahmad mengatakan, “Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada berjihad dan amal sunnah lainnya.” Karena ilmu itu adalah asas dan pokok segala urusan, bahkan dia merupakan ibadah paling agung serta kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang paling ditekankan. Bahkan dengan ilmulah Islam dan kaum muslimin tetap hidup.

Adapun ibadah-ibadah sunnah hanya akan memberikan manfaat bagi diri pelakunya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Ilmu itulah warisan yang ditinggalkan para Nabi dan cahaya yang akan menerangi hati. Orang yang mewarisinya adalah golongan Allah dan pembela-Nya, mereka adalah orang yang paling utama di sisi Allah, paling dekat dengan-Nya, paling takut kepada-Nya serta paling tinggi derajatnya.” (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 11)
Ibarat Pohon yang Tak Berbuah
Namun ingat, bahwa ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang membuahkan amalan, itulah ilmu yang bermanfaat.
Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain. Fungsi ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.
Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama untuk menyalakan api neraka.
Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala. (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ancaman Bagi Orang yang Berilmu Tapi Tidak Beramal
Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al Watr mengatakan, “Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala sering sekali menyebutkan amal shalih beriringan dengan iman. Allah juga mencela orang-orang yang mengatakan apa-apa yang mereka tidak kerjakan. Dan Allah mengabarkan bahwa perbuatan seperti itu sangat dimurkai-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)
Di dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai, sehingga ia berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan penggilingan. Penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, ‘Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’. Dia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat baik akan tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kemungkaran sedangkan aku sendiri justru melakukannya’.”
Oleh sebab itu ilmu harus diamalkan. Shalat harus ditegakkan. Zakat juga harus ditunaikan, dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya Allah tidak memiliki tujuan lain dalam menciptakan makhluk kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 56)” (Lihat Taisirul Wushul, hal. 10)
Berilmu Tidak Beramal Menyerupai Kaum Yahudi
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Maksud perkataan beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), “Beramal dengannya” adalah beramal dengan perkara-perkara yang dituntut oleh ilmu ini, yaitu beriman kepada Allah, menaati-Nya dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Beramal dengan ibadah yang khusus maupun ibadah yang berdampak keluar. Ibadah yang khusus seperti shalat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah yang berdampak keluar ialah seperti beramar ma’ruf dan nahi munkar, berjihad di jalan Allah dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya amal adalah buah ilmu. Barang siapa yang beramal tanpa ilmu maka dia telah menyerupai orang Nasrani. Dan barang siapa yang berilmu tapi tidak beramal maka dia telah menyerupai orang Yahudi.” (Lihat Syarhu Tsalatsatul Ushul, hal. 22)
Belum Layak Disebut ‘Alim Jika Belum Beramal
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Ilmu tidaklah dituntut melainkan supaya diamalkan. Yaitu dengan mewujudkan ilmu dalam praktek nyata, yang tampak dalam bentuk pola pikir seseorang dan perilakunya. Terdapat nash-nash syari’at yang mewajibkan untuk mengikuti ilmu dengan amalan dan agar akibat dari ilmu yang dipelajari muncul pada diri orang yang menuntut ilmu. Dan terdapat ancaman yang keras terhadap orang yang tidak beramal dengan ilmunya. Dan begitu pula bagi orang yang tidak memulai perbaikan dari dirinya sendiri sebelum memperbaiki diri orang lain. Dan dalil-dalil tentang hal itu sudah sangat populer dan dikenal.
Sungguh indah ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang ‘Aalim itu masih dianggap Jaahil (bodoh) apabila dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka jadilah dia seorang yang benar-benar ‘Aalim.”
Ini adalah ungkapan yang sangat tepat. Karena apabila seseorang memiliki ilmu, akan tetapi dia tidak mengamalkan ilmu tersebut maka dia tetaplah disebut jahil. Sebab tidak ada perbedaan antara keadaan dirinya dengan keadaan orang yang jahil. Apabila dia berilmu tetapi tidak mengamalkannya maka orang yang alim itu belumlah pantas disebut sebagai orang berilmu yang sesungguhnya, kecuali bila di sudah beramal dengan ilmunya.” (Hushulul Ma’mul, hal. 16)
Beramal Adalah Sarana Mempertahankan Ilmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Kemudian perlu dimengerti pula bahwa sebenarnya beramal itu juga termasuk penyebab ilmu tetap ada dan bertahan. Oleh sebab itulah, dapat anda jumpai bahwa orang yang beramal dengan ilmunya akan mudah mengeluarkan ilmunya kapanpun dia mau.
Adapun orang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmu yang didapatkannya sangat cepat hilang. Sebagian ulama salaf mengatakan, “Dahulu kami mencari sarana pendukung dalam rangka menghafalkan hadits dengan cara mengamalkannya.”
Selain itu, ulama lain mengatakan, “Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu lain yang belum dia ketahui. Dan barang siapa yang tidak beramal dengan ilmu yang sudah diketahuinya maka sangat dikhawatirkan Allah akan melenyapkan ilmu yang dimilikinya.”
Perkataan ini dianggap hadits oleh sebagian orang, padahal sebenarnya itu bukan hadits. Sebab itu hanyalah ungkapan yang disebutkan Syaikhul Islam rahimahullah. Makna dari kalimat ‘Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dimilikinya’ adalah Allah akan menambahkan keimanan dan menyinari pandangan mata hatinya serta membukakan baginya berbagai jenis ilmu dan cabang-cabangnya.
Oleh sebab itulah anda temukan orang alim yang senantiasa beramal terus mendapatkan peningkatan dan memperoleh limpahan barakah dari Allah dalam hal waktu dan ilmunya. Dalil pernyataan ini terdapat di dalam kitabullah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tetap mencari petunjuk maka Allah akan tambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah anugerahkan kepada mereka ketakwaan.” (QS. Muhammad [47]: 17)
Asy Syaukani mengatakan, “Artinya Allah pasti akan menambahkan kepada mereka keimanan, dan ilmu serta bashirah dalam beragama. Sehingga maknanya orang-orang yang mencari hidayah dengan meniti jalan kebaikan, beriman kepada Allah, dan mengamalkan perintah-Nya niscaya Allah akan tambahkan keimanan, ilmu dan bashirah dalam beragama kepada mereka”. Maka seorang muslim hendaknya mengenali urgensi mengamalkan ilmu.” (Hushulul Ma’mul, hal. 17)
Ilmu Akan Menjadi Pembela Atau Penentangmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Dan hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.”
Ini bukan hanya berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut.
Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu.” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)
Hukum Bila Ilmu Tidak Diamalkan
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Beramal dengan ilmu itu ada yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada pula yang menyebabkan terjatuh dalam kemaksiatan, dan ada pula yang membuat dirinya terjatuh dalam perkara yang makruh, dan ada juga yang apabila ditinggalkan boleh. Lantas bagaimanakah maksudnya ?
Ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ilmu tentang tauhid, yaitu meyakini bahwasanya Allah sajalah yang berhak diibadahi. Maka apabila seorang hamba mengetahui ilmu ini lalu tidak beramal dengan ilmu ini sehingga dia berbuat syirik kepada Allah jalla wa ‘ala maka ilmunya itu tidak akan bermanfaat baginya. Maka pada saat semacam itu bagi dirinya meninggalkan amalan menyebabkan dia kafir.
Dan terkadang bisa dikategorikan maksiat yaitu misalnya apabila seseorang mengetahui bahwa khamr haram diminum, dijual, dibeli, memberikan, memintanya, dan seterusnya. Kemudian dia menyelisihi ilmu yang dimilikinya padahal dia mengetahui keharamannya, tetapi dia tetap nekat melakukannya. Maka tindakannya ini dikategorikan kemaksiatan. Artinya dia telah terjatuh dalam dosa besar.
Dalam pembahasan ini, ada pula ilmu yang apabila tidak diamalkan dihukumi sebagai hal yang makruh. Seperti contohnya apabila seseorang mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dengan tata cara tertentu yang termasuk sunnah-sunnah shalat kemudian dia tidak mengamalkannya maka ini makruh hukumnya. Karena dia telah meninggalkan sebuah amal sunnah, bukan wajib. Sehingga hukum meninggalkannya adalah makruh saja sedangkan mengamalkannya hukumnya mustahab.
Dan terkadang beramal dengan ilmu itu mubah saja begitu pula mubah meninggalkannya. Seperti perkara-perkara mubah dan adat dan semacamnya. Seperti misalnya apabila sampai kepada kita hadits bahwasanya Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian dengan model tertentu, atau cara berjalan beliau adalah demikian dan demikian. Perkara-perkara ini adalah perkara manusiawi dan kebiasaan saja, sebagaimana sudah kita pelajari bahwa hal seperti ini tidak termasuk perkara yang kita diperintahkan untuk menirunya. Sehingga tidak mengerjakannya adalah mubah sebab seorang muslim memang tidak diperintahkan untuk meniru perkara-perkara semacam ini. Yaitu perkara-perkara seperti tata cara berjalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaranya, atau hal-hal lain yang termasuk perkara manusiawi dan kebiasaan saja yang dilakukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mengamalkan hal itu mubah saja. Dan terkadang bisa juga diberi pahala apabila disertai niat ingin meneladani beliau. Karena itulah maka meninggalkan amal dalam hal ini juga mubah…” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul, hal. 5)
Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Penuntut Ilmu Sejati
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Ustaimin rahimahullah menyebutkan bahwa salah satu adab yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang dimiliki. Beliau mengatakan, “Sudah seyogyanya penuntut ilmu beramal dengan ilmunya, baik yang terkait dengan masalah akidah, akhlak, adab maupun muamalah. Karena sesungguhnya inilah buah ilmu dan hasil yang bisa dipetik darinya.
“Seseorang yang membawa ilmu itu seperti orang yang membawa senjata. Bisa jadi senjata itu membelanya atau justru berbalik mengenai dirinya. Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Al-Qur’an adalah hujjah pembelamu atau yang menjatuhkanmu.” (HR. Muslim). Al-Qur’an akan membelamu jika kamu beramal dengannya. Dan dia akan berubah menjadi musuhmu apabila kamu tidak mengamalkannya…” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 32)
Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Da’i Sejati
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Salah satu akhlak dan sifat yang semestinya bahkan wajib dimiliki oleh da’i adalah beramal dengan isi dakwahnya. Dan hendaknya dia bisa menjadi teladan yang baik dalam perkara yang didakwahkannya. Bukan termasuk orang yang mengajak kepada sesuatu kemudian meninggalkannya. Atau melarang sesuatu tetapi kemudian dia sendiri justru melakukannya. Ini adalah keadaan orang-orang yang merugi, kita berlindung kepada Allah darinya.
Adapun keadaan orang-orang yang beriman dan beruntung adalah menjadi da’i kebenaran, mereka mengamalkan ajakannya, bersemangat melakukannya, bersegera mengerjakannya serta berusaha menjauhi perkara yang dilarangnya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh besar murka Allah atas perkataan kalian terhadap sesuatu yang kalian sendiri tidak kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam konteks celaan terhadap kaum Yahudi karena mereka menyuruh orang untuk berbuat baik sementara mereka sendiri melupakan diri sendiri, “Apakah kalian menyuruh orang untuk mengerjakan kebaikan sedangkan kalian melupakan kewajiban diri kalian sendiri. Padahal kalian juga membaca Al Kitab. Tidakkah kalian memahami.” (QS. Al Baqarah [2]: 44)…” (Wujuubu Da’wah ilallaah wa Akhlaaqu Du’aat, hal. 52)
Mengamalkan Ilmu Adalah Bagian dari Shirathal Mustaqim
Setiap kali shalat kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar diberi hidayah menuju dan meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Apakah yang dimaksud shirathal mustaqim ?
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Kemudian Allah memperjelas hakikat shirathal mustaqim ini di dalam ayat berikutnya, “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al Fatihah)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Shirathalladziina an’amta ‘alaihim adalah jalan para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shalih. “Bukan” jalan “orang-orang yang dimurkai” yaitu orang-orang yang telah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya, seperti halnya orang Yahudi dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka. Bukan pula jalan “orang-orang yang sesat” yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti halnya orang Nasrani dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Oleh sebab itulah kita dituntunkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah; baik hidayah ilmu (hidayatul irsyad) maupun hidayah amal (hidayatu taufiq) minimal 17 kali sehari semalam.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seandainya bukan karena betapa besar kebutuhan hamba untuk meminta hidayah sepanjang siang dan malam tentulah Allah tidak akan menuntunnya untuk melakukan hal itu.
Karena sesungguhnya seorang hamba senantiasa membutuhkan bimbingan Allah ta’ala pada setiap saat dan keadaan. Yaitu supaya dia memperoleh ketegaran di atas hidayah, mengokohkan diri di dalamnya, mendapatkan pencerahan, hidayah semakin bertambah dan terus menerus menyertai dirinya.
Karena seorang hamba tidak bisa menguasai barang sedikitpun manfaat maupun mudharat bagi dirinya sendiri, kecuali sebatas yang diinginkan Allah. Sehingga Allah ta’ala pun membimbingnya agar meminta petunjuk pada setiap waktu, yang dengan sebab itu Allah akan membentangkan pertolongan, ketegaran dan taufik kepadanya.
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk selalu meminta petunjuk, karena Allah menjamin akan mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya. Terlebih lagi apabila orang yang meminta sedang berada dalam keadaan terjepit dan sangat merasa butuh kepada Allah, di waktu siang maupun malam… (Tafsir Ibnu Katsir, I/37-38)

Mukmin dan Pohon Kurma


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini seperti seorang muslim, maka sebutkanlah kepadaku apa pohon tersebut?” Lalu orang menerka-nerka pepohonan wadhi. Abdullah Berkata: “Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma, namun aku malu mengungkapkannya.” Kemudian mereka berkata: “Wahai Rasulullah beri tahukanlah kami pohon apa itu?” Lalu beliau menjawab: “ia adalah pohon kurma.”

Takhrij
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam shahihnya kitab Al Ilmu, bab Qaulul Muhadits Hadatsanaa no. 61 (1/145-Fathul Baariiy) dan Muslim dalam shahihnya kitab Sifatul Munafiqin bab Mitslul Mukmin Matsalun Nakhlah no. 7029 (17/151- Syarah Nawawiy)
Syarah Mufradat (Kosakata) Hadits
1. إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ : Terdapat persamaan dan penyerupaan seorang muslim dengan pohon yang tidak gugur daunnya, yaitu pohon kurma.
2. فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي : Akal pikiran mereka menerawang kepada pepohonan di wadhi. Setiap orang menafsirkannya dengan salah satu jenis pepohonan tersebut, namun lupa dengan pohon kurma. (Syarah Shohih Muslim, 17/152 dan lihat juga Fathul Baariiy 1/146)
3. الْبَوَادِي : bentuk jamak dari Badiyah yang bermakna dataran luas yang ada padanya tumbuhan dan air. (LihatMu’jamul Waasith, 1/45)
4. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : Abdullah ini adalah Abdullah bin Umar, sahabat yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah.
5. فَاسْتَحْيَيْتُ : sebab malu beliau, karena paling kecil dari para sahabat yang hadir waktu itu, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Bukhari di kitab Al Ath’imah: “Aku adalah orang kesepuluh dan aku yang paling kecil.”
6. هِيَ النَّخْلَة: pohon kurma. Tentulah pohon ini memiliki keistimewaan sehingga dijadikan sebagai permisalan bagi seorang muslim. Tidak hanya ini saja bahkan Allah memberikan permisalan kalimat thoyibah dengan pohon ini dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim 24-25)
Ibnu Hajar berkata: “Imam Bukhari telah membawakan hadits ini juga dalam tafsir firman Allah:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً
Sebagai isyarat dari beliau bahwa yang dimaksud dengan pohon yang baik itu adalah pohon kurma. Memang telah ada riwayat yang tegas dari hadits yang dikeluarkan oleh Al Bazaar dari jalan periwayatan Musa bin ‘Uqbah dari Naafi’ dari Ibnu Umar, beliau menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini dan bersabda: “Apakah kalian tahu pohon apakah itu?” Ibnu Umar menyatakan: “Jelas itu adalah pohon kurma, namun usiaku yang kecil menahanku untuk berbicara.” Lalu Rasulullah berkata: “ia adalah pohon Kurma.” (Fathul Baariiy,1/146)
Dengan demikian, Pohon yang baik di sini ditafsirkan dengan pohon kurma dan ini adalah pendapat banyak ulama salaf, di antaranya: Ibnu Abbas, Mujahid, Masruq, Ikrimah, Ad Dhohaak, Qatadah dan Ibnu Zaid. (Lihat makalah Syaikh Abdirrozzaaq Al ‘Abaad dalam Majalah Al Jaami’ah Al Islamiyah edisi 107 tahun 29, 1418-1419 hal 205). Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibbaan dari jalan periwayatan Abdul Aziz bin Muslim dari Abdullah bin Dinaar dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ يُخْبِرُنِيْ عَنْ شَجَرَةٍ مِثْلُهَا مِثْلُ الْمُؤْمِنِ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِيْ السَّمَاءِ
“Siapakah yang dapat menyebutkan kepadaku satu pohon yang menyerupai seorang mukmin, pokok batangnya kokoh dan cabangnya menjulang ke langit?”. (Dibawakan Ibnu Hajar dalam Fathul Baariy 1/147)
Semua ini menunjukkan pohon kurma memiliki keutamaan, ketinggian dan keistimewaan. Semua ini telah ditunjukkan dalam ayat di atas. Namun cukuplah dengan dijadikan sebagai permisalan seorang muslim menunjukkan ketinggian dan keistimewaannya.
Syarah Hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini memberikan permisalan dan menyerupakan seorang muslim dengan pohon kurma. Tentunya hal ini menunjukkan adanya sisi kesamaan antara keduanya. Memang mengenal dan mengetahui sisi kesamaan ini perlu mendapat perhatian yang cukup, apalagi Allah telah menjelaskan hal ini agar manusia selalu ingat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)
Di antara sisi kesamaan muslim dengan pohon kurma adalah (sisi kesamaan ini diambil dan disadur dari makalah yang berjudul Taammulaat Fi Mumatsalatul Mukmin Bin Nahlah, tulisan Syeikh DR. Abdurrozaq bin Abdil Muhsin Al ‘Abbaad dalam majalah Al Jaami’ah Al Islamiyah edisi 107 tahun 29, 1418-1419 hal 209-221. dengan penambahan dan pengurangan):
1. Pohon kurma mesti memiliki akar, pangkal batang, cabang, daun dan buah, demikian juga pohon keimanan, memiliki pokok, cabang dan buah. Pokok imam adalah rukun iman yang enam dan cabangnya adalah amalan saleh dan aneka ragam ketaatan dan ibadah. Sedangkan buahnya adalah semua kebaikan dan kebahagiaan yang didapatkan seorang mukmin di dunia dan akhirat.
Imam Ahmad berkata: “perumpamaan iman seperti pohon, karena pokoknya adalah syahadatain, batang dan daunnya demikian juga. Sedangkan buahnya adalah sikap wara’ (hati-hati). Tidak ada kebaikan pada pohon yang tidak berbuah dan tidak ada kebaikan pada orang yang tidak punya sifat wara.’” (As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, 1/316)
Imam Al Baghawiy menyatakan: “Hikmah dari penyerupaan iman dengan pohon adalah pepohonan tidak dikatakan sebagai pohon (yang baik) kecuali memiliki tiga hal. Memiliki akar yang kuat, batang yang kokoh dan cabang yang tinggi. Demikian juga iman, tidak sempurna iman kecuali dengan tiga hal, yaitu pembenaran hati, ucapan lisan dan amalan anggota tubuh.” (Tafsir Al Baghowi, 3/33)
Demikian juga Ibnul Qayyim mengomentari hal ini dalam pernyataan beliau: “Ikhlas dan Tauhid adalah satu pohon di hati, cabangnya adalah amalan dan buahnya adalah kehidupan yang baik di dunia dan nikmat yang abadi di akhirat. Sebagaimana buah-buahan surga tidak terputus dan tidak tercegah mengambilnya, maka buah tauhid dan ikhlas di dunia pun demikian. Adapun kesyirikan, dusta dan riya adalah satu pohon di hati, buahnya di dunia perasaan takut, sedih, duka, kesempitan dan kegelapan hati dan buahnya di akhirat buah zaqqum dan adzab yang abadi. Kedua pohon ini telah dijelaskan Allah dalam surat Ibrahim.” (Al Fawaa’id hal. 214-215)
2. Pohon kurma tidak akan bertahan hidup kecuali dengan disiram dan dipelihara. Disiram dengan air, jika tidak maka akan kering dan jika ditebang maka mati. Demikian juga seorang mukmin tidak dapat hidup yang hakiki dan istiqomah kecuali dengan siraman wahyu. Oleh karena itulah Allah menamakan wahyu dengan ruh dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَاكُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh/ wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syuuro: 52)
dan firman-Nya:
يُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاتَّقُونِ
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: ‘Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (QS. Al-Anfaal: 2)
Karena kehidupan hakiki bagi hati tidak ada tanpa wahyu. Sehingga tanpa wahyu manusia dikatakan mayit walaupun bergerak di antara manusia. Allah ta’ala berfirman:
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَاكاَنُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya.” (QS. Al-An-’aam:122)
Di sini jelas sekali sisi persamaannya. Pohon kurma hanya hidup dengan disiram air dan hati seorang mukmin hanya hidup dengan siraman wahyu.
3. Pohon kurma sangat kokoh, sebagaimana firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim 24-25)
Demikian juga iman jika telah mengakar di dalam hati, maka menjadi sangat kokoh dan tidak goyah sedikitpun, seperti kokohnya gunung yang besar menjulang. Imam Al Auzaa’iy ditanya tentang iman, apakah bertambah? Beliau menjawab: “Ya, sampai membesar seperti gunung.” Ditanya lagi, apakah berkurang? Beliau menjawab: “Ya, sampai tidak sisa sedikit pun.” (Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarah Ushul I’tiqad 5/959)
Demikian juga imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang hal yang serupa dan menjawab: “Bertambah sampai mencapai lebih tinggi dari langit yang tujuh dan berkurang sampai menjadi paling rendah dari bumi yang ketujuh”. (dibawakan oleh Abu Ya’la dalam Thobaqatul Hanabilah, 1/259)
4. Pohon kurma tidak dapat tumbuh di sembarang tanah, bahkan hanya tumbuh di tanah tertentu yang subur saja. Pohon kurma di sebagian tempat tidak tumbuh sama sekali, di sebagian lainnya tumbuh namun tak berbuah dan di sebagian lain tumbuh berbuah tapi sedikit buahnya. Sehingga tidak semua tanah cocok untuk pohon kurma. Demikian juga iman, ia tidak kokoh pada semua hati. Dia hanya akan kokoh pada hati orang yang Allah berikan hidayah dan lapang dada menerimanya. Sehingga pantaslah bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang aku dapatkan dari Allah adalah seperti permisalan air hujan yang deras menimpa bumi. Ada di antara tanah bumi itu Naqiyah, menerima air lalu menumbuhkan rumput dan tumbuhan yang banyak. Ada juga ajaadib, menampung air lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia. Mereka minum, mengambil dan bercocok tanam. Air hujan ini juga menimpa sejenis tanah lain yaitu Qii’aan yang tidak menerima air dan tidak menumbuhkan rerumputan. Demikian itulah permisalan orang yang berilmu (faqih) dalam agama dan mengambil manfaat darinya. Ia mengetahui dan mengajarkannya dan permisalan orang yang tidak menganggapnya sama sekali dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Pohon kurma tidak dapat bercampur dengan tumbuhan pengganggu dan tumbuhan asing yang bukan jenisnya. Mereka ini dapat mengganggu dan melemahkan pertumbuhannya serta mengganggunya dalam menyerap air. Oleh karena itu diperlukan perawatan khusus dan selektif dari pemiliknya. Demikian juga seorang mukmin, mesti mendapatkan hal-hal yang dapat melemahkan iman dan keyakinannya. Juga mendapatkan perkara yang dapat mendesak iman dari hatinya. Oleh karena itu diperlukan introspeksi (muhasabah) dalam setiap waktu dan bersungguh-sungguh menjaganya. Juga berusaha selalu menghilangkan segala sesuatu yang mengotorinya, seperti was-was, mengikuti hawa nafsunya dan lain-lainnya. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ankabut: 69)
Pohon kurma memberikan hasilnya setiap waktu, sebagaimana firman Allah :
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabbnya.” (QS. Ibrahim: 24-25)
Buah pohon ini dimakan waktu siang dan malam, baik di musim dingin atau di musim panas. Dinamakan dalam bentuk kurma (tamr) atau busr atau Ruthab (Busr adalah kurma yang belum matang menjadi ruthab sedangkan Ruthob adalah kurma matang yang masih belum meleleh atau mengeras). Demikian juga seorang mukmin amalan mereka naik pada pagi dan sore hari. Rabi’ bin Anas menyatakan: “Makna firman Nya: كُلَّ حِين adalah setiap pagi dan sore hari, karena buah kurma selalu dapat dimakan di waktu malam dan siang, baik musim dingin atau panas, baik berupa kurma, busr atau ruthab, demikian juga amalan seorang mukmin naik pada pagi dan sore harinya.” (Disampaikan oleh Al Baghowiy dalam tafsirnya 3/33)
Ibnu Jarir Ath Thobary menyatakan dalam tafsir ayat ini: “Pendapat yang rojih menurutku adalah pendapat yang menyatakan, makna كُلَّ حِين dalam ayat ini adalah pagi dan sore, setiap saat, karena Allah menjadikan hasil pohon ini setiap saat dari buahnya untuk perumpamaan amalan dan perkataan seorang mukmin. Padahal sudah pasti amalan dan perkataan basik seorang mukmin diangkat kepada Allah setiap hari, bukan setiap setahun atau setengah tahun atau dua bulan sekali. Jika demikian, maka jelaslah kebenaran pendapat ini. Jika ada yang bertanya: “Pohon kurma mana yang menghasilkan buah setiap saat buah yang dimakan pada musim panas dan dingin? Jawabnya: adapun di musim dingin, maka Thol’ (mayang kurma) adalah buahnya dan di musim panas, maka balkh, busr, Ruthob dan kurma adalah buahnya. Jadi semuanya adalah buahnya.” (Tafsir Thobary, 8/210)
5. Pohon kurma memiliki barakah dalam semua bagiannya. Semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Demikian juga seorang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُلُوسٌ إِذَا أُتِيَ بِجُمَّارِ نَخْلَةٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَعْنِي النَّخْلَةَ فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ الْتَفَتُّ فَإِذَا أَنَا عَاشِرُ عَشَرَةٍ أَنَا أَحْدَثُهُمْ فَسَكَتُّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ النَّخْلَةُ
“Dari Abdullah bin umar beliau berkata: “Ketika kamu duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtiba-tiba diberikan jamaar (jantung kurma). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Sesungguhnya terdapat satu pohon, barakahnya seperti barakah seorang muslim’. Lalu aku menerka itu adalah pohon kurma lalu ingin aku sampaikan dia adalah pohon kurma, wahai Rasulullah. Kemudian aku menengok dan mendapatkan aku orang kesepuluh dan paling kecil, lalu aku diam. Rasulullah berkata: ‘Ia adalah pohon kurma.’” (diriwayatkan oleh Bukhari dalam shohihnya, 3/444)
Ibnu Hajar berkata: “Barokah pohon kurma ada pada semua bagiannya, senantiasa ada dalam setiap keadaannya. Dari mulai tumbuh sampai kering, dimakan semua jenis buahnya, kemudian setelah itu seluruh bagian pohon ini dapat diambil manfaatnya sampai-sampai bijinya digunakan sebagai makanan ternak. Demikian juga serabutnya dapat dijadikan sebagai tali serta yang lainnyapun demikian. Hal ini sudah jelas. Demikian juga barokah seorang muslim meliputi seluruh keadaannya. Juga manfaatnya terus menerus ada untuknya dan untuk orang lain sampai setelah matinyapun.” (Fathul Bari 1/145-146)
6. Pohon kurma disifatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا. Sisi persamaannya dengan muslim dijelaskan dalam riwayat Al Haarits bin Abi Usamah dari hadits Ibnu Umar dari periwayatan yang lainnya dengan lafazh:

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ إِنَّ مَثَلَ الْمؤْمِنِ كَمَثَلِ الشَجَرَةِ لَا تَسْقُطُ لَهَا أَنْمُلُةٌ أَتَدْرُوْنَ مَا هِيَ قَالُوا لاَ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ لَا تَسْقُطُ لَهَا أَنْمُلُةٌ وَ لَا تَسْقُطُ لَمُؤْمِنٍ دَعْوَةٌ
Kami berada bersama Rasulullah pada satu hari, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya permisalan seorang mukmin seperti permisalan pohon yang tidak gugur daunnya. Tahukah kalian pohon apa itu?” Mereka berkata: “Tidak” Lalu beliau menjawab: “Ia adalah pohon kurma tidak gugur daunnya dan seorang mukmin tidak gugur do’anya.” (Lihat Fathul Bari, 1/145)

Jadi jelaslah sisi persamaan antara keduanya. Telah dimaklumi doa telah disyariatkan dan dijanjikan akan dikabulkan sebagaimana firman Allah:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabbmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. 40:60)
Akan tetapi do’a akan dikabulkan dengan kesempurnaan syarat dan tidak adanya penghalang. Terkadang tidak dikabulkan karena tidak sebagian syaratnya atau keberadaan sebagian penghalangnya. Adabnya yang paling penting adalah kehadiran hati, pengharapan terkabulnya do’a dan tekad/azam dalam masalah tersebut. (lihat tentang hal ini dalam Jami’ Al Ulum wal Hikaam hal. 368)
Ibnul Qayyim memberikan makna lain terhadap hadits ini dengan menyatakan hal ini menunjukkan kekonsistenan pohon kurma menjadikannya sebagai pakaian dan perhiasan, sehingga tidak gugur pada musim dingin dan panas. Demikian juga seorang mukmin senantiasa konsisten memakai pakaian ketaqwaan dan perhiasannya sehingga menghadap rabbnya. (Miftah Daris Sa’adah, 1/116)
7. Pohon kurma disifatkan dalam ayat dengan thoyiibah (baik). Ini meliputi baik dalam pemandangan, gambar dan bentuk. Juga meliputi baik dalam rasa, buah dan manfaat. Demikian juga seorang mukmin memiliki sifat baik dalam segala urusan dan keadaannya, baik dzahir ataupun bathin. Oleh kerena itu ketika kaum mukminin masuk syurga langsung disambut para malaikat penjaganya dengan menyatakan:
وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Rabbnya dibawa ke surga berombong-rombongan (pula).Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zumar :73)
Dan firman-Nya:
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka):”Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Anfaal [16]: 32) serta firman Allah:
إِنَّ اللهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَى صِرَاطِ الْحَمِيدِ
Sesungguhnya Allah mamasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki(pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji. (QS. Al-Hajj: {22]: 23-24)
8. Pohon kurma disifatkan dengan sabda Rasulullah:
إِنَّ مَثَلَ الْمؤْمِنِ كَمَثَلِ النَّخْلَةُ ماَ أَخَذَتَ مِنْ شَيْئٍ نَفَعَكَ
“Sesungguhnya permisalan mukmin seperti pohon kurma. Tidaklah kamu mengambil sesuatu darinya, niscaya bermanfaat bagimu.” (Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, 12/ no.13514 dan Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan: “Sanadnya shohih”). Pohon kurma seluruhnya bermanfaat, demikian juga seorang mukmin ketika bergaul dengan teman dan sekitarnya. Ia tidak menampakkan kecuali akhlak yang mulia, adab budi pekerti yang luhur, muamalah baik, memberikan kebaikan dan tidak mengganggu mereka. Selalu memberikan manfaat kepada mereka dalam seluruh pergaulannya.
9. Pohon kurma memiliki perbedaan mencolok, satu dengan lainnya. Perbedaan dalam bentuk, jenis dan buahnya. Pohon kurma tidak hanya satu tingkat dalam kebagusan dan kualitas, sebagaimana firman Allah:
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِّنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَآءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rad [13]: 4)
Demikianlah pohon kurma berbeda dalam rasa, bentuk dan jenisnya, sebagiannya lebih baik dari sebagian yang lainnya.
Demikian juga keadaan antar kaum mukminin. Kaum mukminin bertingkat-tingkat keimanannya dan tidak satu tingkat dalam iman. Allah berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَالْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Faathir [35]: 32)
10. Pohon kurma termasuk pohon yang paling sabar menghadapi angin dan terpaannya serta lainnya dari badai angin. Terkadang menerpanya dan terkadang menggulungnya. Kebanyakan tumbuhan tidak mampu sabar bertahan dari kekeringan air seperti kesabaran pohon kurma. Demikian juga seorang mukmin selalu sabar dalam menghadapi bala, mala petaka dan musibah. Berkumpul pada seorang mukmin kesabaran dengan ketiga jenisnya, yaitu sabar dalam ketaatan Allah, sabar dari kemaksiatan dan sabar menghadapi takdir yang menyedihkan. Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُُ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155-157)
Dan firman-Nya:
قُلْ يَاعِبَادِ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَاحَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: [39]:10)
11. Pohon kurma semakin tua semakin bertambah baik dan tinggi kualitasnya. Demikian juga seorang mukmin jika panjang usianya maka bertambah kebaikan dan amal sholehnya. Imam At Tirmidziy meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Busr, beliau berkata:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
Seorang a’robiy bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah siapakah orang yang terbaik?” Rasulullah menjawab:“Orang yang panjang umur dan baik amalannya.” (Sunan Tirmidzi 4/565 dan dishohihkan Al Albaniy dalam Shohih Sunan At Tirmidzi, 2/271)
12. Pohon kurma tidak pernah berhenti memberi manfaat walaupun gagal berbuah. Manusia dapat mengambil pelepah, daun dan serabutnya untuk kemanfaatan yang banyak. Demikian juga seorang mukmin tidak pernah lepas dari kebaikan. Selalu mengeluarkan kebaikan dan terjaga dari berbuat kejelekan, sebagaimana sabda Rasulullah:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُمْ مِنْ شَرِّكُمْ قَالَ فَسَكَتُوا فَقَالَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ رَجُلٌ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنَا بِخَيْرِنَا مِنْ شَرِّنَا قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ
“Maukah kalian aku beritahu orang terbaik dari terjelek dari kalian?” Lalu beliau mengulanginya tiga kali. Lalu seorang bertanya: “Wahai Rasulullah beritahulah kami tentang orang terbaik dari terjelek dari kami” Rasulullah menjawab:“Orang terbaik dari kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan aman dari kejelekannya dan orang terjelek adalah orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan manusia tidak aman dari kejelekannya.” (Diriwayatkan Imam At Tirmidziy dalam sunannya no. 2263 dan Ahmad no. 8456 dan dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al Jaami’, no. 332)
Imam Ikrimah menafsirkan firman Allah: كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ dengan menyatakan: “Dialah pohon kurma yang senantiasa memberi manfaat.” (disampaikan At Thobariy, 8/205)
Demikian juga seorang mukmin senantiasa memberi manfaat sesuai dengan bagian dan kekuatan imannya.
13. Pohon kurma mudah memetik buahnya, karena pohon kurma terkadang pendek sehingga mudah memetiknya dan terkadang tinggi besar. Walaupun besar masih mudah memanjatnya dibanding memanjat pohon lain yang setingginya, karena terdapat tangga dan tempat memijak sampai ke atas. Demikian juga seorang mukmin mudah mengambil kebaikan darinya.
14. Buah kurma termasuk buah yang paling bermanfaat, karena ruthabnya dimakan sebagai buah-buahan dan manis. Juga kurma yang telah kering menjadi makanan pokok, lauk dan buah serta dapat dihasilkan darinya cuka dan pemanis. Kurma juga dibuat sebagai obat dan minuman. Kemanfaatannya sudah cukup jelas bagi yang menggunakannya. Demikian juga mukmin memiliki keumuman manfaat dan keanekaragaman kebaikan dan kebagusannya.
Ditambah lagi buah kurma memiliki rasa manis dan iman pun memiliki rasa manis yang tidak dapat merasakannya kecuali orang yang memiliki iman yang benar. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara, jika seorang memilikinya niscaya merasakan manisnya iman, menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lainnya dan mencintai seseorang hanya karena Allah serta benci kembali kepada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan kedalam api.” (Mutafaqun ‘alaihi)
Imam Abu Muhammad bin Abi Jamroh menyatakan: “Diibaratkan dengan rasa manis dalam hadits ini, karena Allah menyerupakan iman dengan pohon dalam firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ
Kalimat di dalam ayat ini adalah kalimat ikhlas dan pohonnya adalah pokok iman, cabangnya adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan. Sedang daunnya adalah kebaikan yang diperhatikan seorang mukmin, buahnya adalah ketaatan.” (Lihat Fathul Bari, 1/60)
15. Kesamaan sifat pohon kurma dengan sifat mukmin sehingga Ibnul Qayyim menyatakan: “Sebagian orang ada yang telah menyamakan manfaat-manfaat ini (manfaat pohon kurma) dengan sifat muslim. Mereka menjadikan setiap manfaat darinya dihadapkan dengan satu sifat muslim. Ketika sampai pada duri pohon kurma, maka dihadapkan kepada sifat keras dan tegas terhadap musuh Allah dan orang fajir. Sehingga kekerasan dan ketegasan terhadap mereka (para musuh tersebut) seperti kedudukan duri pohon kurma dan sikap mereka terhadap mukmin yang takwa seperti kedudukan ruthab yang manis dan lembut. Allah berfirman:
أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
“Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. 48:29) (Miftah dari Sa’adah, 1/120-121)
Oleh karena itu para ulama yang terkenal keras dan tegas dalam membantah orang-orang batil dinamakan duri di leher mereka.
Demikianlah di antara kesamaan yang ada. Para pensyarah hadits ini memberikan beberapa kesamaan yang lainnya, namun semuanya lemah dan sebagiannya batil. Imam Ibnu Hajar telah meringkasnya di kitab Fathul Baridengan menyatakan: “Adapun orang yang menganggap letak persamaan antara muslim dengan pohon kurma dari sisi: jika dipotong kepalanya ia akan mati, atau karena pohon kurma tidak berbuah tanpa perkawinan, atau ia mati dengan ditenggelamkan, atau bau putiksarinya seperti mani manusia atau ia minum dari bagian atasnya. Semuanya ini lemah, karena sisi kesamaan tersebut juga untuk seluruh manusia tidak khusus kepada muslim. Yang lebih lemah lagi adalah pernyataan bahwa pohon kurma diciptakan dari tanah sisa penciptaan adam, karena hadits yang menunjukkannya tidak shahih, Wallahu A’laam.” (Lihat 1/147)
Dengan demikian telah kita ketahui iman adalah pohon mubarakah yang memiliki manfaat dan faedah besar serta buah hasil. Iman memiliki tempat khusus penanaman dan siraman khusus, juga memiliki pokok, cabang dan buah. Tempatnya adalah hati seorang mukmin, siramannya adalah wahyu dan pokoknya adalah rukun iman yang enam. Sedangkan cabangnya adalah amalan sholeh dan ketaatan yang beraneka ragam yang dilakukan seorang mukmin dan buahnya adalah semua kebaikan dan kebahagiaan yang dirasakan seorang mukmin di dunia dan akherat. Inilah di antara buah dan hasil iman. Wallahu a’lam bis showaab.
Faedah yang Diambil dari Hadits
Di antara faedah yang diambil dari hadits ini adalah:
  • Orang yang diberi teka-teki hendaknya memperhatikan indikator yang menunjukkan jawabannya.
  • Ujian seorang alim terhadap santrinya tentang sesuatu yang belum jelas dan menjelaskannya jika mereka belum paham.
  • Motivasi untuk memamahami ilmu. Imam Bukhari membuat bab untuk hadits ini bab Fahm fil Ilmu.
  • Dhorbul Amtsal dan asybah (membuat contoh) untuk menambah pemahaman.
  • Tanya jawab.
  • Penggambaran makna untuk mengokohkan pemahaman.
  • Tasybih sesuatu dengan sesuatu tidak mesti harus sama dalam setiap sisi.
  • Imam memberikan permasalahan kepada anak buahnya untuk menguji ilmu yang dimiliki mereka. (Bukhari).
  • Ulama besar terkadang tidak tahu sesuatu yang diketahui orang yang di bawahnya, karena ilmu itu pemberian Allah.
  • Malu dianggap baik selama tidak melepas maslahat yang ada.
  • Tauqiir (menghormati) orang yang lebih tua.

Dapurku Surgaku

Muroja’ah: Ustadz Nurkholis, Lc.


“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa nggak dari dulu belajar masak…”
Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?

Pentingkah Memasak?
Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga, memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya.
Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.
Memasak Sebagai Ladang Pahala
Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.
Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.
Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami  yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)
Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman mengenai hal ini, yang artinya,
“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-11)
Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.
Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.
Mari Memulainya dari Dapur
Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan, maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita kepada-Nya.
Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:
  1. Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.
  2. Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur yang tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita untuk mereka sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.
  3. Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
  4. Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
  5. Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.
  6. Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat,  kita bisa memilih masakan karya kita sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.
Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan banyak orang.
Mulailah Belajar
Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.
Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.
Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian, peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.
Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah. Allahu Ta’ala a’lam.
Maroji’:
  1. Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria (terj.), Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid, Pustaka Salafiyyah.
  2. Manajemen Istri Shalihah (terj.), Muhammad Husain Isa, Ziyad Books Surakarta.
  3. Majalah Nikah vol. 5, No. 11 Edisi Muharram 1428 H.